Dulu, ibu-ibu bangga ketika masakannya dipuji.
Sekarang?
Bisa masak saja sudah dianggap prestasi—asal bahannya cukup.
Karena harga naik, gaji tetap, dan anak-anak tetap lapar tiga kali sehari.
Dan di tengah tekanan ini, sebagian rakyat menemukan “bahan masak cadangan”:
Bukan untuk dimakan,
tapi untuk menghibur perut dan pikiran yang tak kunjung kenyang.
Data: Belanja Bahan Pokok Turun, Tapi Trafik Fomototo Naik
Menurut BPS & Katadata (2024):
-
Konsumsi rumah tangga untuk bahan makanan turun 18% dalam dua tahun terakhir
-
Sementara pencarian keyword “fomototo” meningkat tajam di kalangan ibu rumah tangga usia 25–45 tahun
-
Grup Telegram pola gacor sering ramai pukul 10 pagi dan 4 sore — jam yang dulu identik dengan persiapan belanja dan masak
Karena sekarang,
“bumbu dapur terlalu mahal, mending cari scatter dulu, siapa tahu sore bisa beli lauk.”
Fomototo: Resep Baru Bertahan di Era Minyak Goreng Premium
Harga cabai bisa 80 ribu
Token listrik habis tengah bulan
Telur sekarang lebih mahal dari sosis
Sementara fomototo?
Login gratis
Spin cepat
Kalau hoki, hasilnya bisa buat isi kulkas seminggu
“Kadang bukan masakan yang bikin kenyang, tapi harapan bahwa malam ini JP.”
– Ucapan netizen grup Ibu-Ibu Gacor Area Bekasi
Dapur Tanpa Kompor, Tapi Penuh Strategi Spin
Kompor jarang menyala
Grup Fomototo selalu panas
Sayur tinggal satu ikat
Tapi grafik bocoran scatter sudah lengkap
Karena kadang…
lebih gampang cari pola Odin daripada cari diskon beras 5 kg.
Kesimpulan: Fomototo, Resep Mental Rakyat di Tengah Dapur yang Kehabisan Ide
Fomototo bukan aplikasi resep,
tapi ia telah menjadi bagian dari resep bertahan hidup rakyat urban modern.
Ketika isi kulkas makin menyedihkan,
dan isi dompet tak bisa diajak kompromi,
fomototo jadi bumbu psikis yang tidak bisa dimakan, tapi bisa menenangkan.
Karena hari ini,
yang paling susah bukan cari garam, tapi cari semangat untuk tetap senyum di depan anak.